MAKALAH ARSITEKTUR PERTAMANAN
DESAIN TAMAN JEPANG
Disusun
Oleh :
Eka Rudi Apriansah 1209706009
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
DESAIN TAMAN JEPANG
BAB I
PENDAHULAN
Dalam bahasa Jepang, istilah
taman (庭園 teien?) terdiri dari dua aksara kanji, niwa
(庭?) dan
sono (園?). Istilah niwa mengacu kepada lahan berkerikil untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan
upacara keagamaan, dan sono
mengacu kepada lahan
pertanian dan
sawah berpengairan. Orang zaman Jōmon menamakan
lahan tempat mereka melakukan kegiatan, upacara keagamaan, dan mengumpulkan
makanan sebagai niwa. Benda-benda yang ada di lahan tersebut, seperti pohon, batu besar, air terjun, dan kerikil di pantai sering kali dipercaya sebagai benda sakral yang dihuni
oleh arwah suci. Pasir, kerikil, atau batu dipakai untuk menandai tanah yang
dipercaya sebagai tempat sakral untuk berdoa. Batu-batu di laut dan gunung
dipercaya dihuni atau digunakan kami ketika turun dari langit (iwakura). Susunan
batu digunakan untuk menandai tempat suci (altar) yang disebut iwasaka.
Naskah tertua yang menyebutkan tentang niwa
adalah
Manyōshū yang mengaitkan niwa
dengan
laut luas dan tempat orang memancing. Setelah orang Jepang mengenal cara bertani, niwa berarti
halaman di depan rumah untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Setelah teknik
pertanian dikenal orang zaman Yayoi, kata sono dipakai untuk menyebut lahan beririgasi yang ditanami
padi.
Elemen dasar, prinsip, dan tema-tema untuk taman sudah dikenal orang Jepang sejak zaman Heian. Buku-buku klasik mengenai pertamanan hingga kini masih dijadikan pedoman
sewaktu membangun taman Jepang. Buku pertamanan tertua di Jepang adalah Sakuteiki (作庭記?, Catatan Membuat Taman) yang
ditulis pada pertengahan zaman Heian. Pengarangnya diperkirakan bernama Tachibana no Toshitsuna. Dalam Sakuteiki, prinsip-prinsip pertamanan dari Cina disesuaikan
dengan estetika dan kondisi alam di Jepang. Konsep-konsep dalam Sakuteiki
antara lain diterapkan di taman lumut Saihō-ji di Kyoto. Tidak seperti halnya buku pertamanan dari zaman sesudahnya, Sakuteiki hanya berisi teks dan
tidak dilengkapi ilustrasi.
BAB II
PENJELASAN
Taman Jepang (日本庭園 Nihon teien?) adalah taman yang dibangun dengan gaya tradisional Jepang. Prinsip dasar taman Jepang adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam empat musim di Jepang. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan lanskap alam berukuran
besar.
Selain taman Jepang yang dibuka untuk umum, taman Jepang dibangun di hotel, kuil
Buddha, bekas kediaman resmi daimyo, dan rumah besar milik pejabat atau pengusaha. Taman sempit bergaya Jepang di halaman rumah milik rakyat biasa disebut tsuboniwa (taman halaman kecil) atau nakaniwa (halaman
dalam)
Tiga taman Jepang yang paling terkenal adalah Kenroku-en di Kanazawa, Kōraku-en di Okayama, dan Kairaku-en di Mito,Prefektur
Ibaraki.
MODEL DAN GAYA
Taman shinden-zukuri (shinden-zukuri teien)
Taman gaya shinden-zukuri berasal dari Dinasti Tang, dan diperkenalkan di Jepang pada zaman Heian. Taman dibangun di halaman tengah rumah kediaman bangsawan yang dibangun
dengan gaya arsitektur shinden-zukuri. Taman yang mewakili
gaya shindenzukuri adalah Shinsen-en dan
taman di Daikaku-ji di
Kyoto.
Taman gaya jōdo (jōdoshiki
teien)
Situasi sosial yang tidak stabil pada
zaman Heian menyebabkan meluasnya pemikiran Buddhisme Jōdo yang
membuat orang Jepang mendambakan hidup digokuraku. Ciri khas
taman ini adalah kolam yang ditanami seroja. Tata letak taman dibuat menyerupai bentuk mandala dalam ajaran Jōdokyō. Taman yang mewakili
gaya ini di antaranya taman di Byōdō-in, Jōruri-ji, dan Mōtsū-ji.
Taman batu Jepang (karesansui)
Di taman batu Jepang, batu dipakai untuk menggambarkan air terjun, dan pasir berwarna putih dihamparkan untuk menggambarkan air mengalir. Air sama sekali tidak digunakan sebagai
elemen taman. Taman batu Jepang hanya dimaksudkan untuk dilihat dari satu sudut
pandang. Taman jenis ini berkembang pada zaman Kamakura, zaman
Muromachi, hingga zaman Sengoku. Daitoku-ji dan Ryōan-ji di Kyoto adalah dua taman batu yang terkenal.
Taman gaya shoin (shoinshiki
teien)
Taman gaya ini berkembang pada zaman
Azuchi-Momoyama, dan merupakan gaya taman Jepang yang
paling umum. Taman dibangun menghadap atau mengelilingi shoin
(bangunan atau ruangan besar tempat menerima tamu). Ciri khas berupa batu-batu ukuran besar untuk
menggambarkan pemandangan gunung di pedalaman.
Taman teh (chaniwa atau roji)
Taman teh adalah sebutan untuk taman
kecil yang dilengkapi jalan-jalan setapak yang dibangun di sekeliling rumah teh. Taman gaya ini
berasal dari zaman
Azuchi-Momoyama. Batu pijakan (tobiishi) adalah
elemen penting yang disusun di jalan setapak yang mengelilingi rumah teh.
Susunan batu pijakan dimaksudkan untuk mengatur kecepatan langkah orang yang
menuju ke rumah teh. Penempatan tanaman dan batu ditentukan oleh masing-masing
aliranupacara minum teh. Taman model ini
dilengkapi dengan wadah batu berisi air (tsukubai) dan lentera batu.
Taman gaya kaiyū (kaiyūshiki
teien atau shisen kaiyū)
Desain taman gaya kaiyū merupakan
perpaduan dari taman gaya shoin dan taman teh. Taman gaya ini berkembang pada zaman Edo. Ciri khas taman adalah ukuran taman yang besar dan dilengkapi kolam dan batu-batu. Di dalam taman dibangun taman-taman teh berukuran kecil yang tersebar di
beberapa tempat dan dibangun jembatan-jembatan untuk menghubungkannya. Taman yang mewakili gaya ini
adalah taman Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto, Kōraku-en diOkayama, Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki, Kenroku-en di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, dan Suizen-ji Jōju-en di Prefektur
Kumamoto. Kobori Enshūadalah arsitek
lanskap asal zaman Edo yang dikenal dengan desain taman gaya kaiyū.
Taman daimyo (daimyō
niwa)
Taman daimyo adalah sebutan untuk taman-taman luas yang dibangun daimyo di daerah-daerah pada zaman Edo, misalnya Taman Koishikawa Kōrakuen danRikugi-en di Tokyo. Lahan datar di kota sekeliling istana dibuat sebagai miniatur pemandangan terkenal di
berbagai tempat di Cina dan Jepang. Di dalam taman jenis ini hampir selalu
dibangun kolam. Keindahan taman dinikmati orang sambil berjalan di jalan-jalan
setapak yang dibangun di dalam taman.
PRINSIP DASAR
Dalam taman Jepang tidak dikenal garis-garis lurus atau simetris. Taman
Jepang sengaja dirancang asimetris agar tidak ada satu pun elemen yang menjadi
dominan. Bila ada titik fokus, maka titik fokus digeser agar tidak tepat berada
di tengah.
Secara garis besar, taman Jepang mengenal dua ekstremitas: sakral dan
profan. Di halaman bangunan sakral seperti kuil Shinto, kuil
Buddha, dan istana kaisar hanya disebar pasir
dan kerikil. Salah satu contohnya adalah halaman Kuil Ise. Sebaliknya, taman yang
dilengkapi kolam besar dan ditanami pepohonan, perdu, serta tanaman bunga
dibangun di halaman bangunan yang dimaksudkan sebagai tempat memuaskan estetika
keduniawian, misalnya rumah peristirahatan dan kediaman resmi. Taman seperti
ini diperindah dengan dekorasi seperti batu-batuan, lentera batu, dan gazebo. Berada
di tengah-tengahnya antara sakral dan profan adalah taman yang menggabungkan
nilai-nilai sakral dan estetika profan, misalnya Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto.
Taman Jepang berukuran besar dilengkapi dengan bangunan kecil seperti rumah teh, gazebo, dan bangunan
pemujaan (kuil). Di antara gedung dan taman kadang-kadang dibangun ruang
transisi berupa beranda sebagai tempat orang duduk-duduk. Dari beranda,
pengunjung dapat menikmati keindahan taman dari kejauhan.
Tidak semua taman Jepang dirancang untuk dimasuki atau diinjak orang.
Sejumlah taman dimaksudkan untuk dipandang dari kejauhan seperti dari dalam gedung atau beranda. Di taman yang dibangun untuk dipandang dari jauh, orang dapat melihat
secara sekaligus semua elemen yang ada di dalam taman.
Taman Jepang mengenal permainan perspektif sebagai salah satu teknik untuk
membuat taman terlihat lebih besar dari luas sebenarnya. Teknik pertama dari
beberapa teknik yang biasa digunakan adalah penciptaan ilusi jarak. Taman akan
terlihat lebih luas bila di latar depan diletakkan batu-batuan dan pepohonan
yang lebih besar daripada batu-batuan dan pepohonan di latar belakang. Dalam
teknik kedua berupa "tersembunyi dari penglihatan" (miegakure),
tidak semua pemandangan di dalam taman dapat dilihat sekaligus. Tanaman, pagar,
dan bangunan digunakan untuk menghalangi pandangan isi taman seperti air
terjun, lentera batu, dan gazebo. Orang harus berjalan masuk sebelum dapat
melihat isi taman. Dalam teknik ketiga yang disebut lanskap pinjaman (shakkei),
pemandangan taman meminjam pemandangan alam di latar belakang seperti pegunungan, sungai, atau hutan yang berada di kejauhan. Bangunan seperti istana di
luar taman juga dapat dijadikan bagian integral dari taman.
TEMA
Walaupun elemen-elemen dasar dan prinsip yang mendasari desain taman dapat
berbeda-beda, tema-tema tertentu dapat dijumpai di berbagai jenis taman,
misalnya pulau kecil (disebut Hōraijima atau Pulau Hōrai) yang dibangun di
tengah-tengah kolam. Di atas pulau kecil tersebut kadang-kadang diletakkan diletakkan sebuah
batu besar yang melambangkan Sumeru
dalam
kosmologi Buddha atau Gunung Hōrai dalam Taoisme. Sebagai lambang utopia atau "tanah kebahagiaan", pulau kecil di
taman tidak untuk dimasuki orang. Antara pulau dan bagian taman yang lain
sengaja tidak dibangun jembatan.
Tema-tema lain yang umum adalah kombinasi dari elemen-elemen dasar seperti
batu-batu, pulau kecil, dan pepohonan untuk melambangkan kura-kura dan burung jenjang yang keduanya merupakan lambang umur panjang di
Jepang. Pulau kecil di tengah kolam dibangun seperti bentuk kura-kura atau diletakkan batu yang melambangkan kura-kura di
tepian. Tema lain yang populer adalah Gunung Fuji atau miniatur lanskap-lanskap terkenal di Jepang.
ELEMEN DASAR
Air.
Elemen dasar dalam taman Jepang adalah air, batu, dan tanaman. Selain sebagai sumber kehidupan, air digunakan untuk menyucikan benda
dari dunia profan sebelum memasuki kawasan sakral. Air dialirkan dari sungai
untuk membuat kolam dan air terjun.
Tanaman
Bertolak belakang dari batu yang melambangkan keabadian,
pohon, perdu, bambu, rumpun bambu, lumut, dan rumput adalah benda hidup yang tumbuh seiring dengan musim
sebelum menjadi tua dan mati. Bertolak belakang dengan taman gaya Eropa yang
berfokus pada warna-warni semak dan bunga, taman di kuil Zenhanya berupa hamparan pasir. Taman rumah teh hanya menggunakan tanaman berdaun hijau dan pohon maple yang
daunnya menjadi merah di musim gugur.
Perbedaan antara lereng gunung, padang rumput, dan lembah dinyatakan dalam pemakaian berbagai macam spesies
pohon dan perdu yang dipotong dan dipangkas hingga menyerupai berbagai bentuk.
Pohon dan perdu juga dipakai sebagai penghubung antardua lokasi pemandangan di
dalam taman. Bukit-bukit buatan dibangun dari gundukan tanah.
Batu.
Batu-batu disusun untuk menyerupai bentuk-bentuk alam seperti pegunungan, air
terjun, dan pemandangan laut, dan dipilih berdasarkan bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Batu adalah
elemen terpenting dalam taman karena dapat dipakai untuk melambangkan
pegunungan, garis pantai, dan air terjun. Di taman yang memiliki pulau
kura-kura dan pulau burung jenjang di tengah kolam, batu-batu diletakkan untuk
memberi kesan adanya kepala dan ekor.
Batu-batu berukuran sedang digunakan sebagai batu pijakan (tobiishi,
arti harfiah batu loncatan) yang dipasang bersela-sela di jalan setapak.
Batu-batu yang menutup jalan setapak disebut batu ubin (shikiishi).
Ketika berjalan di atasnya saat hari hujan, pakaian dan alas kaki akan terhindar dari percikan air, tanah, danlumpur.
Di taman
batu Jepang, hamparan pasir dan kerikil diratakan dengan penggaruk menjadi pola-pola yang
melambangkan benda yang mengalir seperti awan dan arusair. Butiran pasir dan kerikil yang dipakai tidak berukuran
terlalu halus karena mudah diterbangkan angin atau dihanyutkan oleh air hujan.
Sebaliknya, butiran pasir dan kerikil yang berukuran terlalu besar akan sulit
ditata dengan penggaruk. Pemilihan pasir dan kerikil juga mempertimbangkan warna.
Pasir berwarna putihmemberi kesan murni dan cemerlang di bawah sinar matahari, sedangkan pasir
berwarna gelap mengesankan keheningan.
Batu untuk taman berasal dari pegunungan, pinggir laut, atau pinggir
sungai, dan digolongkan menjadi tiga jenis: batuan sedimen, batuan
beku, dan batuan malihan. Batuan sedimen
biasanya memiliki permukaan yang halus dan bulat karena terkikis air. Batuan
seperti ini dipasang di pinggir kolam dan sebagai batu pijakan di jalan
setapak. Batuan beku berasal dari gunung berapi dan biasanya memiliki bentuk dan tekstur yang kasar.
Batu seperti ini dipakai sebagai batu pijakan atau sebagai elemen yang
menonjol, misalnya diletakkan untuk melambangkan puncak gunung. Batuan malihan
adalah batu keras yang biasanya dipasang di sekeliling air terjun atau aliran
air. Batu potong dari batuan sedimen juga populer untuk membangun jembatan,
wadah batu berisi air, dan lentera batu.
Pagar.
Di taman rumah teh dan taman Jepang model kolam di tengah (shisen kaiyū), pagar dan bangunan gerbang merupakan elemen penting dalam lanskap. Pagar secara
garis besar terdiri dari pagar hidup (ikigaki) dari tanaman perdu yang dipangkas dan pagar buatan dari kayu atau bambu.
Pagar hidup berfungsi sebagai pembatas, penghalang pandangan, pelindung
dari angin, api, dan debu, serta penghambat suara. Pagar bambu tembus cahaya (sukashigaki)
disusun dari batang-batang bambu yang lebar-lebar jaraknya hingga pemandangan
di balik pagar masih terlihat. Sebaliknya, pagar pembatas (shaheigaki)
dibangun dari susunan bambu yang rapat dan membatasi pemandangan di baliknya.
Di dalam taman tidak digunakan dinding dari tanah yang dikeraskan, kayu,
atau batu. Dinding hanya dipakai sebagai dinding luar pembatas taman.
Lentera.
Lentera (tōrō) berasal dari tradisi Cina untuk menyumbangkan lentera ke kuil Buddha. Sejak zaman Heian, lentera juga disumbangkan ke kuil Shinto untuk penerangan di malam hari dan sebagai hiasan.
Lentera batu mulai dijadikan dekorasi standar di taman rumah teh sejak zaman Muromachi. Setelah menjadi mode di taman-taman rumah teh, lentera
batu akhirnya dipasang di berbagai taman Jepang karena keindahan dan
kegunaannya.
Wadah Air.
Wadah batu berisi air (tsukubai) adalah perlengkapan standar taman
rumah teh. Air dari tsukubai dipakai untuk mencuci tangan tamu sebelum mengikuti upacara minum teh. Tradisi menyediakan wadah batu berisi air di taman rumah teh berasal dari
tradisi menyediakan wadah batu berisi air dalam agama Buddha dan Shinto.
Sebelum berdoa di kuil, orang berkumur dan membersihkan diri dengan air dari
wadah batu yang disebut chōzubachi. Wadah batu yang diletakkan di tanah disebut tsukubai chōzubachi (disingkat tsukubai) karena orang yang mengambil air harus berjongkok (tsukubau). setelah banyak dipasang
di taman-taman,
tsukubai akhirnya dijadikan perlengkapan standar
di taman-taman rumah teh.
Selain tsukubai terdapat dua bentuk lain wadah air dari batu. Wadah
batu yang memungkinkan orang mengambil air sambil berdiri disebut tachi chōzubachi (chōzubachi berdiri). Wadah air yang
diletakkan berdekatan dengan beranda bangunan disebut ensaki chōzubachi (chōzubachi beranda).
Jembatan.
Dalam desain taman dengan air sebagai subjek utama, jembatan adalah elemen dasar
yang menambah harmoni dalam lanskap. Jembatan juga berfungsi sebagai penghubung
bagian-bagian taman yang dipisahkan oleh air. Di taman batu Jepang, jembatan batu dibangun untuk memberi kesan bahwa di bawah jembatan ada
"air" yang mengalir.
Di taman gaya Jōdo, jembatan melambangkan jembatan Sungai Sanzu yang
harus diseberangi arwah orang yang meninggal untuk sampai ke akhirat. Selain itu, jembatan berfungsi sebagai pemisah,
seperti halnya fungsi gerbang tengah (chūmon) di taman teh yang
memisahkan taman dalam (kawasan sakral) dan taman luar (kawasan profan).
BAB III
PENUTUP
DAFTAR FUSTAKA
Earle, Joe (2000). Infinite spaces: the art and
wisdom of the Japanese garden
Young, Michiko (2005). The Art of the Japanese
Garden. Tuttle Publishing.
http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Jepang diambil pada
tanggal 06-maret-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar